This is your new blog post. Click here and start typing, or drag in elements from the top bar.
KABAR DARI SEBUA GERBONG KERETA API KELAS EKONOMI
Duduk berjejal, di sebuah bangku panjang dalam sebuah gerbong kereta kelas ekonomi. Aku seperti sedang berada dalam antrian panjang orang-orang yang sedang menunggu pembagian BLT di halaman kantor kelurahan. Udara yang panas menyengat, mengundang keringat untuk mengucur deras, menjadi pemandangan umum, melengkapi wajah pedih dari para penumpang, yang tak kuasa menghirup udara secara normal.
Namun kereta api ekonomi, tetap menjadi pilihan utama mereka. Murahnya harga karcis, tentu menjadi alasan utama, mengapa mereka ikhlas menerima takdir, membiarkan tubuhnya terpanggang dalam sebuah gerbong yang mirip seperti sebuah Oven besar.
Menempuh perjalanan antara Cimahi- Cicalengka. Aku tak punya banyak waktu untuk memanjakan mata, menikmati indahnya pemandangan yang datang bergantian di luar jendela kereta. Tak sopan untuk memaksakan wajah menengok kekiri dan kekanan, dengan jarak yang yang sangat dekat dengan penumpang lainnya, bahkan hirupan napas mereka pun, demikian jelas terasa.
Di setiap stasion kecil yang saya lewati, para penumpang turun dan naik berebutan. Etika sosial, tak lagi terlihat. Mereka telah berubah menjadi pribadi yang tergopoh-gopoh , bersikap egois, demi meraih satu tempat untuk mengistirahatkan pantatnya secara layak.
Pemandangan lainnya yang cukup mengagetkan dan tak mungkin dapat anda lihat di gerbong kereta jenis eklusif dan Bisnis, adalah betapa Gerbong kereta, telah disulap wajahnya menjadi Pasar berjalan serta Panggung pertunjungan aneka jenis kesenian rakyat yang hingar bingar. Ratusan pedagang asong, sudah sejak lama , telah menjadikan Gerbong kereta sebagai ladang mata pencaharian mereka. Tak perduli mereka harus bersusah payah, bergerak dari gerbong satu ke gerbong lainnya, dalam situasi yang penuh sesak. Bagi mereka tuntutan untuk bisa makan dan membawa kepingan uang untuk keluarganya lebih penting, dari pada tenggelam dalam impian mirip para kaum borjuis di negeri ini. Walau dampratan dan cacian kerap harus mereka dari para penumpang kelas menengah yang terlanjur telah terinjak kaki nya, atau tersenggol tubuhnya. Jenis dagangan yang mereka tawarkan, cenderung hasil produksi rumah tangga yang berkualitas rendah, harganya yang relatif miring cenderung laku di jual, terutama oleh ibu-ibu yang tak kuat menahan rengekan serta tangisan anaknya, yang terjebak dalam bujuk rayuan sang pedagang yang sangat lihay, merayu dan memahami sisi psikologis seorang bocah kecil.
Kehadiran para pengamen dan Para Pengemis ,dalam gerbong kereta, merupakan pemandangan “menakjubkan”, lainnya, yang kian menyempurnakan sebuah asumsi, bahwa gerbong kereta telah menjadi sebuah potret Indonesia, dalam kanvas kecil kehidupan , sekelompok warga masyarakat yang telah termarjinalkan. Kehadiran mereka tentu telah mendapatkan ijin dari pengurus PJKA. Namun mengapa mereka hanya di ijinkan di Kereta Kelas Ekonomi saja ?, jawaban dari pertanyaan ini, semakin membuktikan, bahwa di negeri ini , orang miskin hanya boleh berdampingan dan meminta tolong pada teman lainnya yang berada dalam kondisi kehidupan ekonomi yang hampir sama. Karena di kereta kelas Bisnis dan Eksektutif, kenyamanan penumpang tidak boleh di ganggu. Kebahagiaan kaum menengah atas, harus di lindungi, walau sungguh tak adil dipandang dari kacamata dan prinsif tentang sebuah “ Kelayakan” dallam suatu sitem sosial.
Seharian berada dalam gerbong kereta kelas ekonomi , aku telah di beri pelajaran berharga, untuk kembali belajar menata hidup. Belajar menyesuaikan dan menempatkan berbagai teori tentang hidup, keadilan dan rasa berbagi, dengan kenyatan kehidupan yang sebenarnya. Pukul 17.00. sore, kereta berhenti di Stasion Cimahi . Aku turun membawa berbagai rasa. Menatap kereta yang kembali berlari, kubayangkan pemandangan yang ku alami di dalamnya. Akan terus terjadi. Entah sampai kapan ?
Duduk berjejal, di sebuah bangku panjang dalam sebuah gerbong kereta kelas ekonomi. Aku seperti sedang berada dalam antrian panjang orang-orang yang sedang menunggu pembagian BLT di halaman kantor kelurahan. Udara yang panas menyengat, mengundang keringat untuk mengucur deras, menjadi pemandangan umum, melengkapi wajah pedih dari para penumpang, yang tak kuasa menghirup udara secara normal.
Namun kereta api ekonomi, tetap menjadi pilihan utama mereka. Murahnya harga karcis, tentu menjadi alasan utama, mengapa mereka ikhlas menerima takdir, membiarkan tubuhnya terpanggang dalam sebuah gerbong yang mirip seperti sebuah Oven besar.
Menempuh perjalanan antara Cimahi- Cicalengka. Aku tak punya banyak waktu untuk memanjakan mata, menikmati indahnya pemandangan yang datang bergantian di luar jendela kereta. Tak sopan untuk memaksakan wajah menengok kekiri dan kekanan, dengan jarak yang yang sangat dekat dengan penumpang lainnya, bahkan hirupan napas mereka pun, demikian jelas terasa.
Di setiap stasion kecil yang saya lewati, para penumpang turun dan naik berebutan. Etika sosial, tak lagi terlihat. Mereka telah berubah menjadi pribadi yang tergopoh-gopoh , bersikap egois, demi meraih satu tempat untuk mengistirahatkan pantatnya secara layak.
Pemandangan lainnya yang cukup mengagetkan dan tak mungkin dapat anda lihat di gerbong kereta jenis eklusif dan Bisnis, adalah betapa Gerbong kereta, telah disulap wajahnya menjadi Pasar berjalan serta Panggung pertunjungan aneka jenis kesenian rakyat yang hingar bingar. Ratusan pedagang asong, sudah sejak lama , telah menjadikan Gerbong kereta sebagai ladang mata pencaharian mereka. Tak perduli mereka harus bersusah payah, bergerak dari gerbong satu ke gerbong lainnya, dalam situasi yang penuh sesak. Bagi mereka tuntutan untuk bisa makan dan membawa kepingan uang untuk keluarganya lebih penting, dari pada tenggelam dalam impian mirip para kaum borjuis di negeri ini. Walau dampratan dan cacian kerap harus mereka dari para penumpang kelas menengah yang terlanjur telah terinjak kaki nya, atau tersenggol tubuhnya. Jenis dagangan yang mereka tawarkan, cenderung hasil produksi rumah tangga yang berkualitas rendah, harganya yang relatif miring cenderung laku di jual, terutama oleh ibu-ibu yang tak kuat menahan rengekan serta tangisan anaknya, yang terjebak dalam bujuk rayuan sang pedagang yang sangat lihay, merayu dan memahami sisi psikologis seorang bocah kecil.
Kehadiran para pengamen dan Para Pengemis ,dalam gerbong kereta, merupakan pemandangan “menakjubkan”, lainnya, yang kian menyempurnakan sebuah asumsi, bahwa gerbong kereta telah menjadi sebuah potret Indonesia, dalam kanvas kecil kehidupan , sekelompok warga masyarakat yang telah termarjinalkan. Kehadiran mereka tentu telah mendapatkan ijin dari pengurus PJKA. Namun mengapa mereka hanya di ijinkan di Kereta Kelas Ekonomi saja ?, jawaban dari pertanyaan ini, semakin membuktikan, bahwa di negeri ini , orang miskin hanya boleh berdampingan dan meminta tolong pada teman lainnya yang berada dalam kondisi kehidupan ekonomi yang hampir sama. Karena di kereta kelas Bisnis dan Eksektutif, kenyamanan penumpang tidak boleh di ganggu. Kebahagiaan kaum menengah atas, harus di lindungi, walau sungguh tak adil dipandang dari kacamata dan prinsif tentang sebuah “ Kelayakan” dallam suatu sitem sosial.
Seharian berada dalam gerbong kereta kelas ekonomi , aku telah di beri pelajaran berharga, untuk kembali belajar menata hidup. Belajar menyesuaikan dan menempatkan berbagai teori tentang hidup, keadilan dan rasa berbagi, dengan kenyatan kehidupan yang sebenarnya. Pukul 17.00. sore, kereta berhenti di Stasion Cimahi . Aku turun membawa berbagai rasa. Menatap kereta yang kembali berlari, kubayangkan pemandangan yang ku alami di dalamnya. Akan terus terjadi. Entah sampai kapan ?